Al-Qur'an

Al-Qur'an
Picture by Siti Fatonah

Kamis, 30 November 2017

KEDUDUKAN ILMU DALAM ISLAM
Tugas mata kuliah Aganma (tugas kelompok)
Dosen  Pengampu :  H. Khomarudin
al-quran-4.jpg

Disusun oleh :

                                                            Nama               : Siti Fatonah
                                                                                     Siti Af-idah
 Rina Wati Dewi
 Tri Srtya Ningsih
                                                 

STIKES NGUDI WALUYO UNGARAN
TAHUN 2014/2015


Kata pengantar


Segala puji dan syukur saya panjatkan kepada tuhan yang maha esa, karena atas berkat dan limpahan rahmatnyalah maka saya boleh menyelesaikan sebuah karya tulis dengan tepat waktu.

Berikut ini penulis mempersembahkan sebuah makalah dengan judul “Analisi kekhalifahan setelah jaman nabi”, yang mmenurut saya dapat memberikan manfaat yang besar bagi kita untuk mempelajari sejarah agama islam.

Melalui kata pengantar ini penulis lebih dahulu meminta maaf dan memohon permakluman bila mana isi makalah ini ada kekurangan dan ada tulisan yang saya buat kurang tepat atau menyinggu perasaan pembaca.

Dengan ini saya mempersembahkan makalah ini dengan penuh rasa terima kasih dan semoga allah SWT memberkahi makalah ini sehingga dapat memberikan manfaat.

Ungaran, 15 oktober 2014

“Penulis”































KEDUDUKAN ILMU DALAM ISLAM

Berbicara mengenai ilmu dalam perspektif Islam, berbeda dengan syariat lain atau undang-undang dan peraturan buatan manusia. Pembahasan tentang ilmu menurut kaca mata Islam harus menyertakan tiga hal penting, yaitu ilmu itu sendiri, arang yang berilmu (‘alim) dan penuntut ilmu.
a.       Ilmu
Islam sangat memperhatikan, menghormati dan menjunjung tinggi martabat ilmu dan orang yang memiliki ilmu, sebagaimana firman Tuhan di berbagai ayat dalam al Qur’an. Salah satunya bunyi ayat surat al mujadalah:11 di bawah ini: “ Niscaya Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.
Melalui ayat ini, dapat dikemukakan bahwa dalam ajaran Islam, pengertian ilmu bukan hanya didasarkan pada jumlah ilmu yang dipelajarinya. Akan tetapi ilmu yang benar adalah ilmu yang dirasakan manfaatnya oleh manusia pada umumnya (baca bermakna untuk kemaslahatan manusia lain). Sebagaimana dikatakan oleh DR. Hasan al Syarqawi dalam bukunya Manhaj Ilmiah Islami, “Ilmu juga dapat menjadi cahaya yang dapat menerangi jalan dalam mencapai petunjuk dan kebaikan”. Ungkapan Syarqawi tersebut, hemat saya sejalan dengan firman Tuhan dalam al Qur’an surat al Baqarah: 269 yang berbunyi: “Dan barangsiapa yang diberi hikmah, sungguh telah diberi kebajikan yang banyak”.
Dalam kaitannya dengan hal di atas, jelas kita lihat bahwa tujuan utama bagi penuntut ilmu adalah mengambil manfaat ilmunya guna melayani dan menjadi rujukan bagi manusia dalam melaksanakan kebajikan. Bila tujuan tersebut tidak menjadi perioritas utama dalam proses pencarian ilmu, maka ia telah melakukan kekeliruan dalam memasang niatnya. Dengan demikian, ilmu yang haq adalah ilmu yang membawa manfaat bagi pemiliknya dan orang di sekitarnya. Terlebih lagi dapat mendekatkan diri pemiliknya kepada Allah SWT, Tuhan bagi seluruh umat manusia.

b.      Orang Yang Berilmu
Islam telah mengangkat derajat para ‘ulama (Orang-orang yang berilmu) dalam kedudukan yang amat tinggi dan mulia, karrena mereka adalah penerus dan pengemban amanah para rasul Allah, selama mereka tidak menggauli para penguasa serta tidak menjadikan tujuan hidupnya untuk mendapatkan kesenangan duniawi. Dalam pandangan Islam, ‘alim ialah orang yang memiliki ilmu dan mau mengamalkan ilmunya. Bisa dikatakan, kalau orang yang banyak menguasai ilmu tetapi tidak mau mengamalkannya ilmunya untuk kebajikan dan kemaslahatan hidup umat manusia, belum bisa disebut ‘alim. Dengan alasan karena ilmunya belum bermanfaat untuk kebajikan dan kesejahteraan diri dan masyarakat luas. Dan orang yang berilmu yang menggunakan ilmunya untuk merusak ketentraman dunia, meruntuhkan keluhuran budi pekerti, menganiaya orang lain, memerintahkan perbuatan mungkar, mencegah amar ma’ruf, atau menyeru kepada perbuatan menyekutukan Tuhan (syirik), membujuk orang lain untuk berbuat kekerasan atas nama apapun, memalingkan diri dari Allah SWT, dan lainnya pada hakikatnya tidak bisa dikatakan orang yang berilmu. Bahkan Islam menggolongkannya sebagai orang yang jahil (bodoh) yang suka merusak (berbuat fasik).  Jadi orang yang ‘alim hakikatnya adalah mereka yang selalu memberikan manfaat atau faedah bagi manusia lainnya.

c.       Penuntut Ilmu
Dalam perspektif Islam, penuntut ilmu adalah orang yang bekerja sama dengan ‘alim dalam melakukan kebajikan.  Untuk menguatkan hal ini, saya teringat dengan sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Abu Darda ra. bahwa Rasulullah Saw. bersabda: ”Orang ‘alim dan orang yang menuntut ilmu berserikat dalam kebaikan. Selain keduanya tidak ada kebajikan”. (HR. Al Thabrani).
Jadi menurut pandangan Islam, penuntut  ilmu adalah orang yang selalu berpihak kepada kebenaran, menebarkan kebajikan, mendamaikan kedua belah pihak yang bersiteru, melakukan kreasi-kreasi baru untuk kemajuan dan kesejahteraan bersama dan selalu menegakkan keadilan untuk umat manusia di atas muka bumi.
Lalu bagaimana sebenarnya kedudukan ilmu dalam Islam? Posisi ilmu dalam Islam sangatlah sentral. Vitalitas dan keutamaan ilmu terungkap dalam sanjungan dan kehormatan yang diberikan kepada para ilmuan, tersirat dalam wahyu pertama yang diterima oleh Rasulullah saw. yang menjadi kunci ilmu, yakni perintah “membaca”. Tercermin dalam ajakan untuk bertakwa hanya kepada orang yang berakal, tersurat dalam peringatan bahwa ketiadaan ilmu (kebodohan) akan menyesatkan, serta dengan tegas dinyatakan bahwa menuntut ilmu itu wajib dan berlaku seumur hidup. Kenyataan yang juga bisa kita lihat, bahwa di dalam al Qur’an terdapat puluhan ayat yang menerangkan tentang ilmu, tentang ajakan untuk berfikir dan melakukan penalaran ( mengamati, memperhatikan, memikirkan, dan menyelidiki dengan seksama), serta sanjungan kepada orang-orang yang suka menggunakan akal fikirannya (ilmuan) adalah bukti otentik yang tak dapat diragukan lagi akan sangat pentingnya kedudukan ilmu dalam pandangan Islam.
Imam Ali karramallahu wajhah berkata, Ilmu adalah kehidupan Islam dan pilar agama.  Dan mencari ilmu adalah wajib bagi setiap muslim laki-laki dan muslim perempuan. Dengan ilmu Tuhan ditaati, dengan ilmu silaturahmi dihubungkan, dengan ilmu yang halal dan haram diketahui. Ilmu adalah pemimpin amal, dan amal adalah pengikut ilmu, ilmu adalah penghidup yang mati.
Dalam kaitannya dengan Imam Ali kw. Diatas, al Qur’an menganggap ilmu sebagai kehidupan dan cahaya, sedangkan kebodohan merupakan kematian dan kegelapan. Seperti diketahui, semua bentuk kejahatan disebabkan oleh ketiadaan kehidupan dan cahaya, dan semua kebaikan disebabkan oleh cahaya dan kehidupan. Karena cahaya akan membuka hakikat-hakikat segala sesuatu. Di sinilah kedudukan ilmu menjadi hal yang sangat penting dalam rangka mengajak manusia untuk membedakan mana yang baik dan buruk dalam kehidupannya.




















PERINTAH MENUNTUT ILMU

Perintah wajib menuntut ‘ilmu bagi setiap Muslim ini, terdapat dalam Hadits :
طَــلَبُ الْـعِـلْمِ فَـرِ يْـضَـةٌ عَـلىَ كُـلِّ مُسْــلِـمٍ وَ مُسْـلِـمَـةٍ
Menuntut ‘ilmu adalah fardhu kifayah bagi tiap-tiap Muslim baik ia Laki-laki maupun Wanita”. (Ibnu‘Abdil baar)
Baik yang berhubungan dengan Aqo’id maupun Ibadah Dunia dan Akhirat :
مَنْ اَرَ ادَ الـدُّ نْــيَافَـعَـلَـيْـهِ بِـالْـعِـلْمِ، وَمَنْ اَرَ ادَ الأخِرَ ةَ فَـعَـلَــيْـهِ بِـالْـعِـلْمِ وَ مَنْ اَرَ ادَ هُـمَـا فَــعَــلَــيْــهِ بـِا لْـعِـلْـــمِ
Barangsiapa yang menginginkan soal-soal yang berhubungan dengan urusan Dunia. Wajib ia memiliki ‘ilmu nya. Dan barangsiapa yang ingin (bahagia di) Akhirat. Wajib ia memiliki ‘ilmunya. Dan barangsiapa yang meng inginkan ke dua-duanya. Wajib pula ia memiliki ‘ilmu kedua-duanya”. (Dalam batas-batas yang diridhoi Allah)
(H.R. Al-Buhori dan Muslim)
Islam mewajibkan kita untuk menuntut ‘ilmu Akhirat yang menghasilkan “Natijah”, yakni ‘ilmu yang di’amalkan sesuai dengan perintah Syara’. Hukum wajib‘Ain dan wajib Kifayah, sangat penting dipelajari oleh seluruh Mukallaf untuk meluruskan Aqidah atau Tauhid. Agar bisa memupuk ke-Imanan, serta yang berkaitan dengan pelaksanaan Ibadah Fardhu yang sehari-hari kita lakukan, seperti : “Sholat”. “Puasa”. “Zakat”. “Melaksanakan Hajji”. Disamping itu perlu pula kita ketahui ‘ilmu Akhlaq. Untuk mengetahui Adab dan Sopan santun didalam beribadah maupun didalam pergaulan sesama Manusia. Kemudian juga perlu pula kita pelajari ‘Ilmu ketrampilan yang menjadi tonggak dan sarana bagi kehidupan Dunia. Selanjutnya belajar Ibadah yang tidak kita kerjakan setiap hari seperti : “Sholat Idul Fitri atau Sholat Idul Adha”. Dan Nikah. Cukup dengan Syarat dan Rukunnya. Bagai mana caranya bergaul dengan Istri, harus kita ketahui yang mana Halal dan yang bagaimana pula yang Haram”. “Memandikan Jenazah dan Mengkafaninya, serta Men Sholatkan Jenazah, juga menguburkannya” itu juga sangat perlu kita pelajari. Sebab jika keadaan mengkehendaki, pada suatu saat harus kita laksanakan dengan seteliti mungkin serta sebersih-bersihnya, dan disertai pula dengan keikhlasan yang sangat.
Kemudian wajib pula bagi Muslim mempelajari ‘Ilmu pelengkap atau ‘ilmu alat, seperti belajar ilmu : “Tajwid” “Balaghah”.“Nahwu”.“Syaraf”.“Bayan”.”Mantiq“Tafsir”Dan ‘Ilmu Hadits”. Dan lain-lain. Karena itu semua adalah merupakan Ibadah. Termasuk jangan ketinggalan bagi orang Muslim dan Muslimat mempelajari ‘Ilmu “Saint dan Komputer” serta ‘ilmu-‘ilmu yang canggih-canggih lainnya.
Wahai Insan ! Didalam menuntut ‘Ilmu, tidak ada istilah ketinggalan, apakah ia masih Muda atau sudah Dewasa atau yang sudah Tua. Tidak perlu merinding untuk mencari ‘ilmu dan mempelajarinya lalu di’amalkan. Namun carilah ‘ilmu yang menjadi bekal semoga bahagia di Dunia dan Bahagia pula di Akhirat nanti.
Kita perhatikan Hadits-hadits yang menunjukkan kearah itu :
َلأَنْ تَـغْدُوَفَـتَـعَلَّمَ ايـةً مِنْ كِــتَابِ الـلّــهِ خَـيْـرٌمِنْ عِـبَادَ ةِ سَـنَـةٍ
Sungguh, sekiranya engkau melangkahkan Kaki di waktu pagi (maupun petang). Kemudian kamu mempelajari satu ayat dari Kitab Allah (Al-Qur-aan). maka pahalanya lebih baik dari Ibadah satu tahun”.
(H.R. Ath-Turmudzy)
لأَنْ تَــغْـدُ وَفَــتَـعَـلَّـمَ ايـةً كِــتاب الـلّـــهِ خَـيْـرُ لَكَ مِنْ أَنْ تُـصَـلِّى مِا ئَــةً رَ كَـعَـةٍ
Anda pergi, lalu mempelajari sesuatu ayat dari Kitab Allah. (Al-Qur-aan), lebih baik bagi engkau, daripada Sho lat Seratus Raka’at”.
(H.R. Ibnu Majah Kitab Ath-Taghieb Juz III hal : 15)
Barangsiapa yang pergi menuntut ‘ilmu, maka ia telah termasuk golongan Fi-Sabilillah (orang yang menegakkan Agama Allah). Hingga ia sampai kembali” (kerumahnya). (H.R. At-Thurmidzy)
Kendatipun demikian, kita wajib intropeksi diri, sebab mungkin saja kita terdorong oleh Hawa Nafsu yang ber-tengger Setan didalamnya, lalu setelah ‘ilmu didapat, maka ia langsung membusungkan dada dan memproklamirkan diri. Bahwa ia sendiri yang ber’ilmu tinggi. Orang lain semuanya rendah, seperti yang disinyalir oleh Hadits dibawah ini :
لاَ تَـعْـلَـمُوْاالْـعِلْمَ لـِتُـبَاهُوَ ا بِـهِ الْـعُلَـمَآءَ،وَ لاَلـِتُـمَارُوْابِـهِ السُّـفَـهَاءَ وَ لاَ تَجْـرِئُـوْابِـهِ فِى الْـمَجَالِسِ أَوْ لـِتَصْرِفُوْاجُوْاهَ الـنَّاسِ إِ لَـيْـكُمْ فَـمَنْ فَـعَـلَ ذلِكَ فَـالــنَّارَ … فَـالــنَّارَ!
Janganlah kalian menuntut ‘ilmu untuk dibanggakan pada kalangan para Ulama. Atau untuk diperdebatkan di kalangan orang-orang bodoh dan buruk perangainya. Dan jangan pula menuntut ‘ilmu untuk penampilan dalam Majelis. Atau untuk menarik perhatian orang-orang kepa damu. Barang siapa yang berbuat seperti itu. Maka bagi nya Neraka ! Neraka ! (H.R.At-Turmudzy dan Ibnu Majah)
قَالَ الـلّـــهُ تَــعَـلىَ: أَلــكِـبْـرِيَـاءِ رِدَ ائِـيْ، وَ الْـعَـظِـمَـةُ إِزَارِى، فَـمَـنْ نَـازَعَـنِى وَ احِدً ا مِـنْـهُـمَا أَلــقَــيْـتَـهُ فِيْ جَــهَــنَّـمَ
"Allah Ta’ala Berfirman : Kebesaran (Kesombongan atau Kecongka-an) adalah pakaian-KU.Dan ke-Agungan adalah kain-KU. Barangsiapa merampas salah satu (dari keduanya) Maka akan AKU lempar ia kedalam Neraka Jahannam”. (Hadits Qudsi)
Telah kita baca lima buah Hadits, kesemuanya menunjukkan kepada kita, bahwa sangat dianjurkan bagi Muslim dan Muslimat, agar menuntut ‘ilmu untuk hidup di Dunia dan ‘ilmu untuk Akhirat. Namun setelah mendapat ‘ilmu, tidak baik jika kita pergunakan untuk menyombongkan diri terhadap para Ulama atau untuk berdebat sesama orang awam. Karena yang demikian ini, disinyalir oleh Hadits. Sama halnya menunjukkan kesombongan di hadapan manusia. Lalu api neraka jahannam akan menyambut kita pada hari yang dijanjikan Allah SWT.
Mari kita perhatikan ayat Al-Qur-aan dibawah ini :
وَ نَـزَّ لْـنَاعَـلَـيْكَ الْكِـتَابَ تِـبْـيَانًـا لِّـكُلِّ شَيْءٍ وَهُـدًى وَّ رَحْـمَـةً وَ بــُشْـرًى لـِلْـمُسْـلِـمِـيْـنَ
Dan KAMI turunkan kepadamu Kitab (Al-Qur-aan) untuk menjelaskan segala sesuatu. Dan Petunjuk serta Rahmat bagi orang-orangh Muslim".(yang menta’ati Allah) (Q.S. An-Nahl : 89)
Al-Qur-aan menjelaskan segala sesuatu mengenai pokok pokok utama untuk mencapai kebahagiaan hidup di Dunia dan kesenangan di Akhirat. Dari mulai soal Ibadah. Perkawinan. Perekonomian. Pemerintahan. Ilmu pengetahuan. Budi pekerti luhur. Hubungan baik antar keluarga dan Bangsa-bangsa. Kesehatan. Pertanian. Dan lain-lain.
Sehingga Al-Qur-aan itu benar-benar menjadi petunjuk dan Rahmat bagi Manusia dan Makhluq lainnya. Dan Al-Qur-aan adalah suatu kitab yang kokoh serta penjelasannya dari Allah SWT.
آلــر كِــتَابٌ اُحْكِـمَتْ ا يــتِـه ثُـمَّ فُصِّـلَتْ مِنْ لَدُنْ حَكِـيْمٍ خَـيْـرٍ
"Alif Laam Roo. (inilah) Kitab yang kokoh. Dan ayat-ayatnya disusun dengan rapi. Kemudian diberi penjelasan dari Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Maha Menge tahui" (Q.S. Huud : 1)
Setelah jelas bahwasanya Al-Qur-aan adalah benar-benar Kitab dari Allah SWT sekiranya manusia mau berfikir jernih, Insya Allah ia tidak akan berat untuk mempelajari Al-Qur-aan. Jika kita nilai dengan pantauan yang serius.
Maka kita akan mengetahui. Bahwa banyak orang-orang Muslim yang tidak tahu membaca Al-Qur-aan. Oleh karena itu, mudah saja mereka-mereka dengan sengaja meninggalkan ajaran Al-Qur-aan. Dan meninggalkan Sunnah Rasul-Nya. Demikian ini dikarenakan banyaknya faktor yang menempah manusia itu. Sehingga mereka berani memandang ringan terhadap ajaran Allah dan Rasul-Nya. Beberapa Faktor tersebut :
1. Kemauan orang tua menginginkan agar anaknya ahli ’Ilmu Dunia.
2. Keadaan Hati anak itu sendiri. Turut hanyut dengan keadaan di sekelilingnya.
3. Keadaan lingkungan yang meng-inginkan, agar manusia menentang Allah.
4. Kemauan Iblis yang diperturutkan. Yang pada akhirnya manusianya masuk Neraka Jahannam
Kita tidak membatasi manusia untuk menuntut ‘Ilmu. Dipersilakan mempelajari semua ‘Ilmu yang ada di alam ini. Bahkan dianjurkan untuk mempelajarinya. Tetapi alangkah baiknya jika ‘Ilmu tersebut diimbangi dengan ‘Ilmu Agama agar bisa seimbang dan paralel. Sebab setelah kita perhatikan perkembangan zaman. Dapat kita rasakan pada era zaman sekarang ini, banyak lahir penyakit berpola baru. Dan bernama baru, sehingga para Dokter sendiri tidak tahu namanya. Padahal empat belas abad yang lalu Al-Qur-aan telah menyatakan, bahwa Al-Qur-aan sanggup menjadi Penawar Hati dan Rahmat bagi semua Makhluq. Terutama penyakit yang berada didalam Sudur (Dada) yaitu "Hati".
Yang demikian ini empat belas abad yang lalu telah disitir oleh Hadits Nabi S.a.w :
أَلاَوَ إِنَّ فِى الْـجَسَـدِمُضْغَـةَ، إِذَاصَـلُـحَتْ صَـلُـحَ الْـجَـسَـدُكُــلُّـهُ وَ إِذا فَسَــدَتْ فَسَــدَ الْـجَسَـدُ كُـلُّـهُ ، أَ لاَ وَ هِيَ الْـقَــلْـبُ

"Ketahuilah ! Sesungguhnya dalam Tubuh Manusia itu, ada segumpal Daging. Apabila ia baik. (maka) seluruh Tubuh akan baik. Dan apabila ia rusak. Maka seluruh Tubuh akan rusak. Ketahuilah ! ia adalah Hati.(Al-Bukhori)
Oleh karena itu, carilah ilmu yang bisa menenteramkan hati
تَــعَـلَّـمُـوْالْـعِلْـمَ وَ تَـعَـلَّـمُـوْالـِلْـعِلْـمِ السَّــكِـــيْــنَـةَ وَ الْــوَ قَـارَ وَ تَــوَا ضَعُـوْا لِـمَـنْ تَــعَــلَّــمُـوْنَ مِـنْـهُ
"Tuntutlah ‘ilmu dan belajarlah (untuk ‘ilmu) Ketenangan dan Kehormatan diri. Dan bersikaplah rendah Hati kepada orang yang mengajari kamu". (H.R. Muslim)
Jika direnungkan Hadits diatas, maka akan timbul dalam pemikiran siapapun. Bahwa untuk mencari ‘ilmu ketenangan dan bersikap rendah Hati terhadap Guru. Tiada lain kecuali ‘ilmu yang mempelajari Al-Qur-aan dan Sunnah Rasul Saw. Jika kita ingin menjadi orang Muslim yang jujur. Tetapi jika kita sejajarkan dengan pendapat umum, maka pengertian di atas tidak tepat kata mereka. Sebab di dalam adat istiadat pun sudah ada pelajaran Etika, yang mengajarkan kepada manusia agar berbuat sopan santun terhadap orang lain.
Itu juga kita terima. Namun yang kita harapkan adalah Adat yang bersendi kepada Syara’. Syara’ bersendi kepada Kitabullah. Kitabullah yang bermuara kepada Allah SWT.
Karena zaman sekarang, banyak Kitab yang dikatakan orang bahwa itu adalah Kitab Allah. Tetapi ajarannya menyimpang dari tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Konon pula Adat yang tidak bersendikan Kitabullah yang asli. Maka mudah saja di goyang oleh zaman dan cenderung kepada keadaan masa.
إِذَاظَــهَــرَتِ الْـبِدَ عُ فِيْ أُ مَّــتِى فَـعَـلَ الْــعَالَمِ أَنْ يــُظْـهِـرُعِـلْمـُـهُ فَـإِنْ لَمْ يَــفْـعَــلْ فَـعَــلَــيْـهِ لَــعَــنَـةُ الـلّـــــهِ وَ الْـمَـلاَ ئِـكَـةِ وَ الــنَّاسِ أَجْـمَـعِـيْـنَ , لاَ يــُـقْــبَــلُ مِـنْــهُ صَـرْ فٌ وَ لاَ عَدْ لٌ
Apabila muncul bid’ah-bid’ah ditengah-tengah umatku. Maka wajib bagi orang ber-’Ilmu menyebarkan ‘Ilmunya (yang benar). Kalau ia tidak melakukannya, maka bagi nya la’nat Allah. para Malaikat. Dan la’nat seluruh Manu sia. Tidak akan di terima sedekahnya dan seluruh kebai kan ‘amalnya”. (H.R. Ar-Robii’)
Memang orang ber’ilmu sangat disanjung dan dipuja oleh siapapun. Namun tidak tertutup kemungkinan. Bahwa orang ber’ilmu bisa saja langsung masuk ke dalam Neraka jahannam. Jika ia salah kaprah dalam penyampaian maupun dalam meng’amalkannya. Karena Hadits diatas telah menerangkan kepada kita, bahwa La’nat Allah dan Malaikat serta La’nat seluruh Ruh Manusia sangat dekat kepadanya. Jadi belum tentu yang kita pandang manis itu tidak akan menjadi Pil pahit di belakang hari. Untuk itu.. Berhati-hatilah wahai orang yang ber’ilmu !!!
مَنْ سُـئِـلَ عَنْ عِـلْمٍ فَـكَــتَـمَـهُ جَاءَ يَـوْ مَ الْـقِـيَامَةِ مُـلْـجَــمًابِـلِـجَامٍ مِنْ نَّـارِ
Barangsiapa ditanya tentang suatu ‘Ilmu lalu dirahasia kannya, maka ia akan hadir pada hari Qiyamat dengan kendali (di mulutnya) dari api Neraka !!!”.
(H.R. Abu Daud)
Merahasiakan suatu ‘Ilmu itu, sangat dimurkai Allah. Lalu bagaimana jika menyempitkan lahirnya ‘Ilmu untuk umat Manusia, hanya di karenakan isi Amplopnya sedikit ? Wallahu a’lam bish-showaab-Wal-maa’ap. Kita kembalikan semua keadaan kepada Allah ‘Azza Wajalla.






















DERAJAT ORANG BERILMU MENURUT ISLAM
Banyak ayat-ayat al-Quran yang membahas dan menjelaskan tentang kedudukan orang yang beriman dan kedudukan orang yang berilmu di dalam Islam. Peranan ilmu dalam Islam sangat penting sekali. Karena tanpa ilmu, maka seorang yang mengaku mukmin, tidak akan sempurna bahkan tidak benar dalam keimanannnya. Seorang muslim wajib mempunyai ilmu untuk mengenal berbagai pengetahuan tentang Islam baik itu menyangkut aqidah, adab, ibadah, akhlak, muamalah, dan sebagainya. Dengan memiliki pengetahuan dan pemahaman ilmu yang benar, maka diharapkan pengamalannya akan sesuai dengan tuntunan Rasulullah Saw.
Allah Ta’ala berfirman dalam surah Al-Mujadalah [58] ayat 11:
 يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا۟ فِى ٱلْمَجَٰلِسِ فَٱفْسَحُوا۟ يَفْسَحِ ٱللَّهُ لَكُمْ ۖ وَإِذَا قِيلَ ٱنشُزُوا۟ فَٱنشُزُوا۟ يَرْفَعِ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مِنكُمْ وَٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْعِلْمَ دَرَجَٰتٍ ۚ وَٱللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majlis”, maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu”, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Tafsir Singkat (al-Jalalain):
(Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepada kalian, “Berlapang-lapanglah) berluas-luaslah (dalam majelis”) yaitu majelis tempat Nabi saw. berada, dan majelis zikir sehingga orang-orang yang datang kepada kalian dapat tempat duduk. Menurut suatu qiraat lafal al-majaalis dibaca al-majlis dalam bentuk mufrad (maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untuk kalian) di surga nanti. (Dan apabila dikatakan, “Berdirilah kalian”) untuk melakukan shalat dan hal-hal lainnya yang termasuk amal-amal kebaikan (maka berdirilah) menurut qiraat lainnya kedua-duanya dibaca fansyuzuu dengan memakai harakat damah pada huruf Syinnya (niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kalian) karena ketaatannya dalam hal tersebut (dan) Dia meninggikan pula (orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat) di surga nanti. (Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan).
Penjelasan Global
Sebab turunnya ayat ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dari Muqatil bin Hibban, ia berkata, “Pada suatu hari, yaitu hari jumat, Rasulullah SAW. berada di Suffah mengadakan pertemuan di suatu tempat yang sempit, dengan maksud menghormati pahlawan-pahlawan perang Badar yang terdiri dari orang-orang Muhajirin dan Anshar. Beberapa orang pahlawan perang Badar itu terlambat datang di antaranya Sabit bin Qais. Para pahlawan Badar itu berdiri di luar yang kelihatan oleh Rasulullah mereka mengucapkan salam, “Assalamu’ alaikum Ayyuhan Nabiyyu warahatullahi wabarakatuh”, Nabi SAW. menjawab salam, kemudian mereka mengucapkan salam pula kepada orang-orang yang hadir lebih dahulu dan dijawab pula oleh mereka.
Para pahlawan Badar itu tetap berdiri, menunggu tempat yang disediakan bagi mereka, tetapi tidak ada yang menyediakannya. Melihat itu Rasulullah SAW. merasa kecewa, lalu mengatakan, “berdirilah, berdirilah”. Berapa orang yang ada di sekitar itu berdiri, tetapi dengan rasa enggan yang terlihat di wajah mereka. Maka orang-orang munafik memberikan reaksi dengan maksud mencela Nabi SAW. mereka berkata, “Demi Allah, Muhammad tidak adil, ada orang yang dahulu datang dengan maksud memperoleh tempat duduk di dekatnya, tetapi di suruh berdiri agar tempat itu diberikan kepada orang yang terlambat datang.” Maka turunlah ayat ini.
Dari ayat ini dapat dipahami:
  1. Para sahabat berlomba-lomba mencari tempat dekat Rasulullah agar mudah mendengar perkataan beliau yang beliau sampaikan kepada mereka.
  2. Perintah memberikan tempat kepada orang yang baru datang, adalah merupakan anjuran, sekiranya hal ini mungkin dilakukan, untuk menimbulkan rasa persahabatan antara sesama yang hadir.
  3. Sesungguhnya tiap-tiap orang yang memberikan kelapangan kepada hamba Allah dalam melakukan perbuatan-perbuatan baik, maka Allah akan memberi kelapangan pula kepadanya di dunia dan di akhirat nanti.
Memberi kelapangan kepada sesama muslim dalam pergaulan dan usaha mencari kebaikan, berusaha menyenangkan hati saudara-saudaranya, memberi pertolongan dan sebagainya termasuk yang dianjurkan Rasulullah SAW. Beliau bersabda:
“Allah selalu menolong hamba selama hamba itu menolong saudaranya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ayat ini menerangkan bahwa jika kamu disuruh Rasulullah SAW. berdiri untuk memberikan kesempatan kepada orang tertentu agar ia dapat duduk atau kamu disuruh pergi dahulu hendaknya kamu berdiri atau pergi, karena ia ingin memberikan penghormatan kepada orang-orang itu atau karena ia ingin menyendiri untuk memikirkan urusan-urusan agama, atau melaksanakan tugas-tugas yang perlu diselesaikan dengan segera.
Berdasarkan ayat ini para ulama berpendapat bahwa orang-orang yang hadir dalam suatu majelis hendaklah mematuhi ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam majelis itu atau mematuhi perintah orang-orang yang mengatur majelis itu.
Jika dipelajari maksud ayat di atas ada suatu ketetapan yang ditentukan ayat ini, yaitu agar orang-orang menghadiri suatu majelis baik yang datang pada waktunya atau yang terlambat itu, selalu menjaga suasana yang baik, penuh persaudaraan dan saling bertenggang rasa dalam majelis itu. Bagi yang terdahulu datang hendaklah memenuhi tempat yang agak di muka, sehingga orang yang datang kemudian tidak perlu melangkahi atau mengganggu orang yang telah terdahulu hadir dan bagi orang yang terlambat datang hendaklah merasa rela dengan keadaan yang ditemuinya, seperti tidak dapat tempat duduk. Inilah yang dimaksud dengan sabda Nabi SAW.:
لا يقم الرجل من مجلسه ولكن تفسحوا وتوسعوا
Janganlah seseorang menyuruh berdiri, dari tempat-tempat duduk temannya yang lain, tetapi hendaklah ia mengatakan: lapangkanlah atau geserlah sedikit. (HR. Bukhari Muslim dll).
Akhir ayat ini menerangkan bahwa Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman, yang taat dan patuh kepada-Nya, melaksanakan perintah-perintah-Nya, menjauhi larangan-larangan-Nya, berusaha menciptakan suasana damai, aman dan tenteram dalam masyarakat, demikian pula orang-orang yang berilmu yang menggunakan ilmunya untuk menegakkan kalimat Allah.
Dari ayat ini dipahami bahwa orang-orang yang mempunyai derajat yang paling tinggi di sisi Allah ialah orang yang beriman, berilmu dan ilmunya itu diamalkan sesuai dengan yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya. Kemudian Allah SWT menegaskan bahwa Dia Maha Mengetahui semua yang dilakukan manusia, tidak ada yang tersembunyi bagi-Nya, siapa yang durhaka kepada-Nya. Dia akan memberi balasan yang adil, sesuai dengan perbuatan yang telah dilakukannya. Perbuatan baik akan dibalas dengan surga dan perbuatan jahat dan terlarang akan dibalas dengan azab neraka.

Sedangkan Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan sebagai berikut:
  1. Allah Ta’ala akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Maksudnya, janganlah kalian berkeyakinan bahwa jika salah seorang di antara kalian memberi kelapangan kepada saudaranya, baik yang datang maupun yang akan pergi lalu dia keluar, maka akan mengurangi hak-nya. Bahkan hal itu merupakan ketinggian dan perolehan martabat di sisi Allah. Dan Allah Ta’ala tidak menyia-nyiakan hal tersebut, bahkan Dia akan memberikan balasan kepadanya di dunia dan di akhirat. Sesungguhnya orang yang merendahkan diri karena Allah, maka Allah akan mengangkat derajatnya dan akan memasyhurkan namanya.
  2. Imam Ahmad meriwayatkan dari Abuth Thufail ‘Amir bin Watsilah, bahwa Nafi’ bin ‘Abdil Harits pernah bertemu dengan ‘Umar bin al-Khaththab di Asafan. ‘Umar mengangkatnya menjadi pemimpin Makkah lalu ‘Umar berkata kepadanya: “Siapakah yang engkau angkat sebagai khalifah atas penduduk lembah?” la menjawab: “Yang aku angkat sebagai khalifah atas mereka adalah Ibnu Abzi, salah seorang budak kami yang telah merdeka.” Maka ‘Umar bertanya: “Benar engkau telah mengangkat seorang mantan budak sebagai pemimpin mereka?” Dia pun berkata: “Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya dia adalah seorang yang ahli membaca Kitabullah (al-Qur-an), memahami ilmu fara-idh dan pandai berkisah.” Lalu ‘Umar berkata: “Sesungguhnya Nabi kalian telah bersabda:  
“Sesungguhnya Allah mengangkat suatu kaum karena Kitab ini (al-Qur-an) dan merendahkan dengannya sebagian lainnya.”





Kasifikasi ilmu menurut islam
Klasifikasi ilmu dalam islam
I. Sumber dan Metode Ilmu
Kehidupan agama Islam di panggung sejarah peradaban manusia memiliki arti tersendiri, termasuk dalam bidang ilmu pengetahuan. Ilmu dalam Islam berdasarkan paham kesatupaduan yang merupakan inti wahyu Allah Swt. Tujuan dari semua ilmu dikembangkan berdasarkan Islam ialah untuk menunjukkan kesatupaduan dan saling berhubungan dari segala yang ada. Turunnya wahyu Allah SWT kepada Nabi Muhammad saw, membawa semangat baru bagi dunia ilmu pengetahuan, memecahkan kebekuan zaman. Lahirnya Islam membawa manusia kepada sumber-sumber pengetahuan lain dengan tujuan baru, yakni lahirnya tradisi intel-induktif. Al-Qur’an menganggap ”anfas” (ego) dan ”afak” (dunia) sebagai sumber pengetahuan. Allah menumpahkan tanda-tanda-Nya dalam pengalaman batin dan juga pengalaman lahir. Ilmu dalam Islam memiliki kapasitas yang sangat luas, pengalaman batin merupakan pengembangan manusia terhadap seluruh potensi jiwa dan inteleknya. Jiwa kebudayaan Islam yang diarahkan kepada yang konkrit dan terbatas serta yang telah melahirkan metode observasi dan eksperimen bukanlah sebuah hasil kompromi dengan pikiran Yunani.
II. Keterbatasan Ilmu
Manusia diberi anugerah oleh Allah dengan alat-alat kognitif yang alami terpasang pada dirinya. Dengan alat ini manusia mengadakan observasi, eksperimentasi, dan rasionalisasi. Keterbatasan ilmu manusia tidak menghilangkan makna ayat-ayat Allah di alam semesta yang diciptakan agar manusia dapat mengenal eksistensinya. Makna ayat-ayat Allah tetap relevan mengantarkan manusia kepada Tauhid dari dahulu hingga sekarang, dari zaman batu hingga zaman komputer.
III. Ilmu-Ilmu Semu
Banyak orang yang mempelajari ilmu pengetahuan tetapi dirinya bersikap sekuler. Tak terkesan sedikitpun kecenderungan kepada Islam. Ilmu-ilmu seperti inilah yang disebut sebagai ilmu yang semu karena tidak membawa manusia kepada tujuan hakiki.
1. Sikap apriori dari para pencari ilmu dengan tidak meyakini bahwa ajaran Islam benar- benar dari Allah SWT, dan berguna bagi kehidupan manusia di dunia ini.
2. Terbelenggunya akal pikiran karena peniruan yang membabi buta terhadap karya-karya pendahulu (nenek moyang) mereka.
3. Mengikuti persangkaan yang tidak memiliki landasan ilmiah yang kokoh, hanya bersifat spekulatif belaka.
IV. Klasifikasi Ilmu
Beberapa tipe klasifikasi telah dihasilkan dengan berbagai aspek peninjauan dan penghayatan terhadap ilmu-ilmu yang berkemban, diantaranya klasifikasi oleh Al- Kindi (801 – 873 M), Al-Farabi (870 – 950 M), Al- Ghazali (1058 – 1111 M), dan Ibn Khaldun (wafat 1406 M). Pada dasarnya ilmu itu dibagi atas dua bagian besar, yakni ilmu-ilmu Tanziliyah yaitu ilmu-ilmu yang dikembangkan akal manusia terkait dengan nilai-nilai yang diturunkan Allah Swt baik dalam kitab-Nya maupun Hadits-haditsRasulullah Saw, dan ilmu-ilmu Kauniyah yaitu ilmu-ilmu yang dikembangkan akal manusia karena interaksinya dengan alam. Bersumber pada Al-Qur’an dan Hadits, ilmu-ilmu Tanziliyah telah berkembang sedemikian rupa ke dalam cabang-cabang yang sangat banyak, diantaranya Ulumul Qur’an, Ulumul Hadits, Ushul Fiqh, Tarikhulanbiya, Sirah Nabawiyah, dan lain-lain. Masing-masing ilmu tersebut melahirkan ilmu-ilmu, seperti dalam Ulumul Qur’an ada ilmu Qiroat, ilmu Asbabun Nuzul, ilmu Tajwid, dan lain-lainnya. Bersumber pada ayat-ayat Allah Swt, di alam raya ini akal manusia melahirkan banyak sekali cabang-cabang ilmu. Ilmu-ilmu yang terkait dengan benda-benda mati melahirkan ilmu kealaman, terkait dengan pribadi manusia melahirkan ilmu-ilmu kemanusiaan (humaniora), dan terkait dengan interaksi antar manusia lahir ilmu-ilmu sosial. Ilmu-ilmu kealaman melahirkan ilmu astronomi, fisika, kimia, biologi, dan lainnya. Ilmu-ilmu humaniora melahirkan psikologi, bahasa, dan lainnya.
kasifikasi Ilmu menurut ulama islam.
Ulumudin
mengklasifikasikan Ilmu dalam dua kelompok yaitu 1). Ilmu Fardu a’in, dan 2). Ilmu Fardu Kifayah, kemudian beliau menyatakan pengertian Ilmu- ilmu tersebut sebagai berikut : “Ilmu fardu a’in . Ilmu tentang cara amal perbuatan yang wajib, Maka orang yang mengetahui ilmu yang wajib dan waktu wajibnya, berartilah dia sudahmengetahui ilmu fardu a’in “ (1979 : 82) “Ilmu fardu kifayah. Ialah tiap-tiap ilmu yang tidak dapat dikesampingkan dalam menegakan urusan duniawi “ (1979 : 84)
Al Ghazali
menjelaskan bahwa yang termasuk ilmu fardu a’in ialah ilmu agama dengan segala cabangnya, seperti yang tercakup dalam rukun Islam, sementara itu yang termasuk dalam ilmu (yang menuntutnya) fardhu kifayah antara lain ilmu kedokteran, ilmu berhitung untuk jual beli, ilmu pertanian, ilmu politik, bahkan ilmu menjahit, yang pada dasarnya ilmu-ilmu yang dapat membantu dan penting bagi usaha untuk menegakan urusan dunia.
Ibnu Khaldun
yang membagi kelompok ilmu ke dalam dua kelompok yaitu :
1. Ilmu yang merupakan suatu yang alami pada manusia, yang ia bisa menemukannya karena kegiatan berpikir.
2. Ilmu yang bersifat tradisional (naqli).
bila kita lihat pengelompokan di atas , barangkali bias disederhanakan menjadi 1). Ilmu aqliyah , dan 2). Ilmu naqliyah.
Dalam penjelasan selanjutnya Ibnu Khaldun menyatakan :
“Kelompok pertama itu adalah ilmu-ilmu hikmmah dan falsafah. Yaitu ilmu pengetahuan yang bisa diperdapat manusia karena alam berpikirnya, yang dengan indra— indra kemanusiaannya ia dapat sampai kepada objek- objeknya, persoalannya, segi-segi demonstrasinya dan aspek-aspek pengajarannya, sehingga penelitian dan penyelidikannya itu menyampaikan kepada mana yang benar dan yang salah, sesuai dengan kedudukannya sebagai manusia berpikir. Kedua, ilmu-ilmu tradisional (naqli dan wadl’i. Ilmu itu secara keseluruhannya disandarkan kepada berita dari pembuat konvensi syara “ (Nurcholis Madjid, 1984 : 310) dengan demikian bila melihat pengertian ilmu untuk kelompok pertama nampaknya mencakup ilmu-ilmu dalam spektrum luas sepanjang hal itu diperoleh melalui kegiatan berpikir. Adapun untuk kelompok ilmu yang kedua Ibnu Khaldun merujuk pada ilmu yang sumber keseluruhannya ialah ajaran-ajaran syariat dari al qur’an dan sunnah Rasul. Ulama lain yang membuat klasifikasi Ilmu adalah Syah Waliyullah, beliau adalah ulama kelahiran India tahun1703 M. Menurut pendapatnya ilmu dapat dibagi kedalam tiga kelompok menurut pendapatnya ilmu dapat dibagi kedalam tiga kelompok yaitu : 1). Al manqulat, 2). Al ma’qulat, dan 3). Al maksyufat. Adapun pengertiannya sebagaimana dikutif oleh A Ghafar Khan dalam tulisannya yang berjudul “Sifat, Sumber, Definisi dan Klasifikasi Ilmu Pengetahuan menurut Syah Waliyullah” (Al Hikmah, No. 11, 1993), adalah sebagai berikut :
1). Al manqulat adalah semua Ilmu-ilmu Agama yang disimpulkan dari atau mengacu kepada tafsir, ushul al tafsir, hadis dan al hadis.
2). Al ma’qulat adalah semua ilmu dimana akal pikiran memegang peranan penting.
3). Al maksyufat adalah ilmu yang diterima langsung dari sumber Ilahi tanpa keterlibatan indra, maupun pikiran spekulatif Selain itu, Syah Waliyullah juga membagi ilmu pengetahuan ke dalam dua kelompok yaitu : 1). Ilmu al husuli, yaitu ilmu pengetahuan yang bersifat indrawi, empiris, konseptual, formatif aposteriori dan 2). Ilmu al huduri, yaitu ilmu pengetahuan yang suci dan abstrak yang muncul dari esensi jiwa yang rasional akibat adanya kontak langsung dengan realitas ilahi . Meskipun demikian dua macam pembagian tersebut tidak bersifat kontradiktif melainkan lebih bersifat melingkupi, sebagaimana dikemukakan A.Ghafar Khan bahwa al manqulat dan al ma’qulat dapat tercakup ke dalam ilmu al husuli









Tidak ada komentar:

Posting Komentar