KEDUDUKAN ILMU DALAM ISLAM
Tugas mata kuliah Aganma (tugas kelompok)
Dosen
Pengampu : H. Khomarudin
Disusun oleh :
Nama : Siti Fatonah
Siti Af-idah
Rina
Wati Dewi
Tri
Srtya Ningsih
STIKES NGUDI WALUYO UNGARAN
TAHUN 2014/2015
Kata
pengantar
Segala puji dan syukur saya panjatkan kepada tuhan yang maha esa, karena atas berkat dan limpahan rahmatnyalah maka saya boleh menyelesaikan sebuah karya tulis dengan tepat waktu.
Berikut ini penulis mempersembahkan sebuah makalah dengan judul “Analisi kekhalifahan setelah jaman nabi”, yang mmenurut saya dapat memberikan manfaat yang besar bagi kita untuk mempelajari sejarah agama islam.
Melalui kata pengantar ini penulis lebih dahulu meminta maaf dan memohon permakluman bila mana isi makalah ini ada kekurangan dan ada tulisan yang saya buat kurang tepat atau menyinggu perasaan pembaca.
Dengan ini saya mempersembahkan makalah ini dengan penuh rasa terima kasih dan semoga allah SWT memberkahi makalah ini sehingga dapat memberikan manfaat.
Ungaran, 15 oktober 2014
“Penulis”
KEDUDUKAN ILMU DALAM
ISLAM
Berbicara mengenai ilmu dalam perspektif Islam,
berbeda dengan syariat lain atau undang-undang dan peraturan buatan manusia.
Pembahasan tentang ilmu menurut kaca mata Islam harus menyertakan tiga hal
penting, yaitu ilmu itu sendiri, arang yang berilmu (‘alim) dan penuntut ilmu.
a.
Ilmu
Islam sangat memperhatikan, menghormati dan menjunjung
tinggi martabat ilmu dan orang yang memiliki ilmu, sebagaimana firman Tuhan di
berbagai ayat dalam al Qur’an. Salah satunya bunyi ayat surat al mujadalah:11
di bawah ini: “ Niscaya Allah akan
meninggikan derajat orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang
yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.
Melalui ayat ini, dapat dikemukakan bahwa dalam ajaran
Islam, pengertian ilmu bukan hanya didasarkan pada jumlah ilmu yang
dipelajarinya. Akan tetapi ilmu yang benar adalah ilmu yang dirasakan
manfaatnya oleh manusia pada umumnya (baca bermakna untuk kemaslahatan manusia
lain). Sebagaimana dikatakan oleh DR. Hasan al Syarqawi dalam bukunya Manhaj Ilmiah Islami, “Ilmu juga dapat
menjadi cahaya yang dapat menerangi jalan dalam mencapai petunjuk dan
kebaikan”. Ungkapan Syarqawi tersebut, hemat saya sejalan dengan firman Tuhan
dalam al Qur’an surat al Baqarah: 269 yang berbunyi: “Dan barangsiapa yang diberi hikmah, sungguh telah diberi kebajikan yang
banyak”.
Dalam kaitannya dengan hal di atas, jelas kita lihat
bahwa tujuan utama bagi penuntut ilmu adalah mengambil manfaat ilmunya guna
melayani dan menjadi rujukan bagi manusia dalam melaksanakan kebajikan. Bila
tujuan tersebut tidak menjadi perioritas utama dalam proses pencarian ilmu,
maka ia telah melakukan kekeliruan dalam memasang niatnya. Dengan demikian,
ilmu yang haq adalah ilmu yang membawa manfaat bagi pemiliknya dan orang di
sekitarnya. Terlebih lagi dapat mendekatkan diri pemiliknya kepada Allah SWT,
Tuhan bagi seluruh umat manusia.
b.
Orang Yang Berilmu
Islam telah mengangkat derajat para ‘ulama
(Orang-orang yang berilmu) dalam kedudukan yang amat tinggi dan mulia, karrena
mereka adalah penerus dan pengemban amanah para rasul Allah, selama mereka
tidak menggauli para penguasa serta tidak menjadikan tujuan hidupnya untuk
mendapatkan kesenangan duniawi. Dalam pandangan Islam, ‘alim ialah orang yang memiliki ilmu dan mau mengamalkan ilmunya.
Bisa dikatakan, kalau orang yang banyak menguasai ilmu tetapi tidak mau
mengamalkannya ilmunya untuk kebajikan dan kemaslahatan hidup umat manusia,
belum bisa disebut ‘alim. Dengan
alasan karena ilmunya belum bermanfaat untuk kebajikan dan kesejahteraan diri
dan masyarakat luas. Dan orang yang berilmu yang menggunakan ilmunya untuk
merusak ketentraman dunia, meruntuhkan keluhuran budi pekerti, menganiaya orang
lain, memerintahkan perbuatan mungkar, mencegah amar ma’ruf, atau menyeru
kepada perbuatan menyekutukan Tuhan (syirik), membujuk orang lain untuk berbuat
kekerasan atas nama apapun, memalingkan diri dari Allah SWT, dan lainnya pada
hakikatnya tidak bisa dikatakan orang yang berilmu. Bahkan Islam
menggolongkannya sebagai orang yang jahil (bodoh) yang suka merusak (berbuat
fasik). Jadi orang yang ‘alim
hakikatnya adalah mereka yang selalu memberikan manfaat atau faedah bagi
manusia lainnya.
c.
Penuntut Ilmu
Dalam perspektif Islam, penuntut ilmu adalah orang
yang bekerja sama dengan ‘alim dalam
melakukan kebajikan. Untuk menguatkan hal ini, saya teringat dengan
sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Abu Darda ra. bahwa Rasulullah Saw.
bersabda: ”Orang ‘alim dan orang yang
menuntut ilmu berserikat dalam kebaikan. Selain keduanya tidak ada kebajikan”. (HR.
Al Thabrani).
Jadi menurut pandangan Islam, penuntut ilmu
adalah orang yang selalu berpihak kepada kebenaran, menebarkan kebajikan,
mendamaikan kedua belah pihak yang bersiteru, melakukan kreasi-kreasi baru
untuk kemajuan dan kesejahteraan bersama dan selalu menegakkan keadilan untuk
umat manusia di atas muka bumi.
Lalu bagaimana sebenarnya kedudukan ilmu dalam Islam?
Posisi ilmu dalam Islam sangatlah sentral. Vitalitas dan keutamaan ilmu
terungkap dalam sanjungan dan kehormatan yang diberikan kepada para ilmuan,
tersirat dalam wahyu pertama yang diterima oleh Rasulullah saw. yang menjadi
kunci ilmu, yakni perintah “membaca”. Tercermin dalam ajakan untuk bertakwa
hanya kepada orang yang berakal, tersurat dalam peringatan bahwa ketiadaan ilmu
(kebodohan) akan menyesatkan, serta dengan tegas dinyatakan bahwa menuntut ilmu
itu wajib dan berlaku seumur hidup. Kenyataan yang juga bisa kita lihat, bahwa
di dalam al Qur’an terdapat puluhan ayat yang menerangkan tentang ilmu, tentang
ajakan untuk berfikir dan melakukan penalaran ( mengamati, memperhatikan, memikirkan,
dan menyelidiki dengan seksama), serta sanjungan kepada orang-orang yang suka
menggunakan akal fikirannya (ilmuan) adalah bukti otentik yang tak dapat
diragukan lagi akan sangat pentingnya kedudukan ilmu dalam pandangan Islam.
Imam Ali karramallahu wajhah berkata, Ilmu adalah
kehidupan Islam dan pilar agama. Dan mencari ilmu adalah wajib bagi
setiap muslim laki-laki dan muslim perempuan. Dengan ilmu Tuhan ditaati, dengan
ilmu silaturahmi dihubungkan, dengan ilmu yang halal dan haram diketahui. Ilmu
adalah pemimpin amal, dan amal adalah pengikut ilmu, ilmu adalah penghidup yang
mati.
Dalam kaitannya dengan Imam Ali kw. Diatas, al Qur’an
menganggap ilmu sebagai kehidupan dan cahaya, sedangkan kebodohan merupakan
kematian dan kegelapan. Seperti diketahui, semua bentuk kejahatan disebabkan
oleh ketiadaan kehidupan dan cahaya, dan semua kebaikan disebabkan oleh cahaya
dan kehidupan. Karena cahaya akan membuka hakikat-hakikat segala sesuatu. Di
sinilah kedudukan ilmu menjadi hal yang sangat penting dalam rangka mengajak
manusia untuk membedakan mana yang baik dan buruk dalam kehidupannya.
PERINTAH MENUNTUT
ILMU
Perintah wajib menuntut ‘ilmu bagi setiap Muslim ini,
terdapat dalam Hadits :
طَــلَبُ الْـعِـلْمِ فَـرِ يْـضَـةٌ عَـلىَ كُـلِّ
مُسْــلِـمٍ وَ مُسْـلِـمَـةٍ
Menuntut ‘ilmu
adalah fardhu kifayah bagi tiap-tiap Muslim baik ia Laki-laki maupun Wanita”.
(Ibnu‘Abdil baar)
Baik yang berhubungan
dengan Aqo’id maupun Ibadah Dunia dan Akhirat :
مَنْ اَرَ ادَ الـدُّ نْــيَافَـعَـلَـيْـهِ
بِـالْـعِـلْمِ، وَمَنْ اَرَ ادَ الأخِرَ ةَ فَـعَـلَــيْـهِ بِـالْـعِـلْمِ وَ
مَنْ اَرَ ادَ هُـمَـا فَــعَــلَــيْــهِ بـِا لْـعِـلْـــمِ
“Barangsiapa
yang menginginkan soal-soal yang berhubungan dengan urusan Dunia. Wajib ia
memiliki ‘ilmu nya. Dan barangsiapa yang ingin (bahagia di) Akhirat. Wajib ia
memiliki ‘ilmunya. Dan barangsiapa yang meng inginkan ke dua-duanya. Wajib pula
ia memiliki ‘ilmu kedua-duanya”. (Dalam batas-batas yang diridhoi Allah)
(H.R. Al-Buhori dan Muslim)
Islam mewajibkan kita
untuk menuntut ‘ilmu Akhirat yang menghasilkan “Natijah”, yakni
‘ilmu yang di’amalkan sesuai dengan perintah Syara’. Hukum wajib‘Ain dan wajib
Kifayah, sangat penting dipelajari oleh seluruh Mukallaf untuk meluruskan
Aqidah atau Tauhid. Agar bisa memupuk ke-Imanan, serta yang berkaitan dengan
pelaksanaan Ibadah Fardhu yang sehari-hari kita lakukan, seperti : “Sholat”. “Puasa”.
“Zakat”. “Melaksanakan Hajji”. Disamping itu perlu pula kita ketahui ‘ilmu Akhlaq.
Untuk mengetahui
Adab dan Sopan santun didalam beribadah maupun didalam pergaulan sesama
Manusia. Kemudian juga perlu pula kita pelajari ‘Ilmu ketrampilan yang menjadi
tonggak dan sarana bagi kehidupan Dunia. Selanjutnya belajar Ibadah yang tidak
kita kerjakan setiap hari seperti : “Sholat Idul Fitri atau Sholat Idul Adha”. Dan
Nikah. Cukup dengan Syarat dan Rukunnya. Bagai mana caranya bergaul dengan
Istri, harus
kita ketahui yang mana Halal dan yang bagaimana pula yang Haram”. “Memandikan
Jenazah dan Mengkafaninya, serta Men Sholatkan Jenazah, juga menguburkannya”
itu juga sangat perlu kita pelajari. Sebab jika keadaan
mengkehendaki, pada suatu saat harus kita laksanakan dengan seteliti mungkin
serta sebersih-bersihnya, dan disertai pula dengan keikhlasan yang sangat.
Kemudian wajib pula
bagi Muslim mempelajari ‘Ilmu pelengkap atau ‘ilmu alat, seperti belajar ‘ilmu : “Tajwid”
“Balaghah”.“Nahwu”.“Syaraf”.“Bayan”.”Mantiq“Tafsir”Dan ‘Ilmu Hadits”. Dan
lain-lain. Karena itu semua adalah merupakan Ibadah. Termasuk jangan ketinggalan
bagi orang Muslim dan Muslimat mempelajari ‘Ilmu “Saint dan Komputer” serta ‘ilmu-‘ilmu yang canggih-canggih
lainnya.
Wahai Insan ! Didalam
menuntut ‘Ilmu, tidak ada istilah ketinggalan, apakah ia masih Muda atau sudah
Dewasa atau yang sudah Tua. Tidak perlu merinding untuk mencari ‘ilmu dan
mempelajarinya lalu di’amalkan. Namun carilah ‘ilmu yang menjadi bekal semoga
bahagia di Dunia dan Bahagia pula di Akhirat nanti.
Kita perhatikan Hadits-hadits yang menunjukkan kearah
itu :
َلأَنْ تَـغْدُوَفَـتَـعَلَّمَ ايـةً مِنْ كِــتَابِ
الـلّــهِ خَـيْـرٌمِنْ عِـبَادَ ةِ سَـنَـةٍ
“Sungguh,
sekiranya engkau melangkahkan Kaki di waktu pagi (maupun petang). Kemudian kamu
mempelajari satu ayat dari Kitab Allah (Al-Qur-aan). maka pahalanya lebih baik
dari Ibadah satu tahun”.
(H.R.
Ath-Turmudzy)
لأَنْ
تَــغْـدُ وَفَــتَـعَـلَّـمَ ايـةً كِــتاب الـلّـــهِ خَـيْـرُ لَكَ مِنْ أَنْ
تُـصَـلِّى مِا ئَــةً رَ كَـعَـةٍ
Anda pergi, lalu mempelajari sesuatu ayat dari
Kitab Allah. (Al-Qur-aan), lebih baik bagi engkau, daripada Sho lat Seratus
Raka’at”.
(H.R. Ibnu Majah
Kitab Ath-Taghieb Juz III hal : 15)
“Barangsiapa
yang pergi menuntut ‘ilmu, maka ia telah termasuk golongan Fi-Sabilillah (orang
yang menegakkan Agama Allah). Hingga ia sampai kembali” (kerumahnya). (H.R.
At-Thurmidzy)
Kendatipun demikian,
kita wajib intropeksi diri, sebab mungkin saja kita terdorong oleh Hawa Nafsu
yang ber-tengger Setan didalamnya, lalu setelah ‘ilmu didapat, maka ia langsung
membusungkan dada dan memproklamirkan diri. Bahwa ia sendiri yang ber’ilmu
tinggi. Orang lain semuanya rendah, seperti yang disinyalir oleh Hadits dibawah
ini :
لاَ تَـعْـلَـمُوْاالْـعِلْمَ لـِتُـبَاهُوَ ا بِـهِ
الْـعُلَـمَآءَ،وَ لاَلـِتُـمَارُوْابِـهِ السُّـفَـهَاءَ وَ لاَ
تَجْـرِئُـوْابِـهِ فِى الْـمَجَالِسِ أَوْ لـِتَصْرِفُوْاجُوْاهَ الـنَّاسِ إِ
لَـيْـكُمْ فَـمَنْ فَـعَـلَ ذلِكَ فَـالــنَّارَ … فَـالــنَّارَ!
“Janganlah
kalian menuntut ‘ilmu untuk dibanggakan pada kalangan para Ulama. Atau untuk
diperdebatkan di kalangan orang-orang bodoh dan buruk perangainya. Dan jangan
pula menuntut ‘ilmu untuk penampilan dalam Majelis. Atau untuk menarik
perhatian orang-orang kepa damu. Barang siapa yang berbuat seperti itu.
Maka bagi nya Neraka ! Neraka ! (H.R.At-Turmudzy dan Ibnu Majah)
قَالَ الـلّـــهُ تَــعَـلىَ: أَلــكِـبْـرِيَـاءِ رِدَ
ائِـيْ، وَ الْـعَـظِـمَـةُ إِزَارِى، فَـمَـنْ نَـازَعَـنِى وَ احِدً ا
مِـنْـهُـمَا أَلــقَــيْـتَـهُ فِيْ جَــهَــنَّـمَ
"Allah
Ta’ala Berfirman : Kebesaran (Kesombongan atau Kecongka-an) adalah pakaian-KU.Dan
ke-Agungan adalah kain-KU. Barangsiapa merampas salah satu (dari keduanya) Maka
akan AKU lempar ia kedalam Neraka Jahannam”. (Hadits Qudsi)
Telah kita baca lima
buah Hadits, kesemuanya menunjukkan kepada kita, bahwa sangat dianjurkan bagi
Muslim dan Muslimat, agar menuntut ‘ilmu untuk hidup di Dunia dan ‘ilmu untuk
Akhirat. Namun setelah mendapat ‘ilmu, tidak baik jika kita pergunakan untuk
menyombongkan diri terhadap para Ulama atau untuk berdebat sesama orang awam.
Karena yang demikian ini, disinyalir oleh Hadits. Sama halnya menunjukkan
kesombongan di hadapan manusia. Lalu api neraka jahannam akan menyambut kita
pada hari yang dijanjikan Allah SWT.
Mari kita perhatikan
ayat Al-Qur-aan dibawah ini :
وَ نَـزَّ لْـنَاعَـلَـيْكَ الْكِـتَابَ تِـبْـيَانًـا
لِّـكُلِّ شَيْءٍ وَهُـدًى وَّ رَحْـمَـةً وَ بــُشْـرًى لـِلْـمُسْـلِـمِـيْـنَ
Dan KAMI turunkan kepadamu Kitab (Al-Qur-aan) untuk
menjelaskan segala sesuatu. Dan Petunjuk serta Rahmat bagi orang-orangh Muslim".(yang
menta’ati Allah) (Q.S. An-Nahl :
89)
Al-Qur-aan
menjelaskan segala sesuatu mengenai pokok pokok utama untuk mencapai
kebahagiaan hidup di Dunia dan kesenangan di Akhirat. Dari mulai soal Ibadah.
Perkawinan. Perekonomian. Pemerintahan. Ilmu pengetahuan. Budi pekerti luhur.
Hubungan baik antar keluarga dan Bangsa-bangsa. Kesehatan. Pertanian. Dan
lain-lain.
Sehingga Al-Qur-aan itu benar-benar menjadi petunjuk dan Rahmat bagi Manusia dan Makhluq lainnya. Dan Al-Qur-aan adalah suatu kitab yang kokoh serta penjelasannya dari Allah SWT.
Sehingga Al-Qur-aan itu benar-benar menjadi petunjuk dan Rahmat bagi Manusia dan Makhluq lainnya. Dan Al-Qur-aan adalah suatu kitab yang kokoh serta penjelasannya dari Allah SWT.
آلــر كِــتَابٌ
اُحْكِـمَتْ ا يــتِـه ثُـمَّ فُصِّـلَتْ مِنْ لَدُنْ حَكِـيْمٍ خَـيْـرٍ
"Alif Laam Roo.
(inilah) Kitab yang kokoh. Dan ayat-ayatnya disusun dengan rapi. Kemudian
diberi penjelasan dari Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Maha Menge tahui"
(Q.S. Huud : 1)
Setelah jelas
bahwasanya Al-Qur-aan adalah benar-benar Kitab dari Allah SWT sekiranya manusia
mau berfikir jernih, Insya Allah ia tidak akan berat untuk mempelajari
Al-Qur-aan. Jika kita nilai dengan pantauan yang serius.
Maka kita akan
mengetahui. Bahwa banyak orang-orang Muslim yang tidak tahu membaca Al-Qur-aan.
Oleh karena itu, mudah saja mereka-mereka dengan sengaja meninggalkan ajaran
Al-Qur-aan. Dan meninggalkan Sunnah Rasul-Nya. Demikian ini dikarenakan
banyaknya faktor yang menempah manusia itu. Sehingga mereka berani memandang
ringan terhadap ajaran Allah dan Rasul-Nya. Beberapa Faktor tersebut :
1. Kemauan orang tua
menginginkan agar anaknya ahli ’Ilmu Dunia.
2. Keadaan Hati anak itu sendiri. Turut hanyut dengan keadaan di sekelilingnya.
3. Keadaan lingkungan yang meng-inginkan, agar manusia menentang Allah.
4. Kemauan Iblis yang diperturutkan. Yang pada akhirnya manusianya masuk Neraka Jahannam
2. Keadaan Hati anak itu sendiri. Turut hanyut dengan keadaan di sekelilingnya.
3. Keadaan lingkungan yang meng-inginkan, agar manusia menentang Allah.
4. Kemauan Iblis yang diperturutkan. Yang pada akhirnya manusianya masuk Neraka Jahannam
Kita tidak membatasi
manusia untuk menuntut ‘Ilmu. Dipersilakan mempelajari semua ‘Ilmu yang ada di
alam ini. Bahkan dianjurkan untuk mempelajarinya. Tetapi alangkah baiknya jika
‘Ilmu tersebut diimbangi dengan ‘Ilmu Agama agar bisa seimbang dan paralel.
Sebab setelah kita perhatikan perkembangan zaman. Dapat kita rasakan pada era
zaman sekarang ini, banyak lahir penyakit berpola baru. Dan bernama baru,
sehingga para Dokter sendiri tidak tahu namanya. Padahal empat belas abad yang
lalu Al-Qur-aan telah menyatakan, bahwa Al-Qur-aan sanggup menjadi Penawar Hati
dan Rahmat bagi semua Makhluq. Terutama penyakit yang berada didalam Sudur
(Dada) yaitu "Hati".
Yang demikian ini
empat belas abad yang lalu telah disitir oleh Hadits Nabi S.a.w :
أَلاَوَ إِنَّ فِى
الْـجَسَـدِمُضْغَـةَ، إِذَاصَـلُـحَتْ صَـلُـحَ الْـجَـسَـدُكُــلُّـهُ وَ إِذا
فَسَــدَتْ فَسَــدَ الْـجَسَـدُ كُـلُّـهُ ، أَ لاَ وَ هِيَ الْـقَــلْـبُ
"Ketahuilah ! Sesungguhnya dalam Tubuh Manusia itu, ada segumpal Daging. Apabila ia baik. (maka) seluruh Tubuh akan baik. Dan apabila ia rusak. Maka seluruh Tubuh akan rusak. Ketahuilah ! ia adalah Hati.(Al-Bukhori)
Oleh karena itu,
carilah ilmu yang bisa menenteramkan hati
تَــعَـلَّـمُـوْالْـعِلْـمَ
وَ تَـعَـلَّـمُـوْالـِلْـعِلْـمِ السَّــكِـــيْــنَـةَ وَ الْــوَ قَـارَ وَ
تَــوَا ضَعُـوْا لِـمَـنْ تَــعَــلَّــمُـوْنَ مِـنْـهُ
"Tuntutlah
‘ilmu dan belajarlah (untuk ‘ilmu) Ketenangan dan Kehormatan diri. Dan
bersikaplah rendah Hati kepada orang yang mengajari kamu". (H.R.
Muslim)
Jika direnungkan
Hadits diatas, maka akan timbul dalam pemikiran siapapun. Bahwa untuk mencari
‘ilmu ketenangan dan bersikap rendah Hati terhadap Guru. Tiada lain kecuali
‘ilmu yang mempelajari Al-Qur-aan dan Sunnah Rasul Saw. Jika kita ingin menjadi
orang Muslim yang jujur. Tetapi jika kita sejajarkan dengan pendapat umum, maka
pengertian di atas tidak tepat kata mereka. Sebab di dalam adat istiadat pun
sudah ada pelajaran Etika, yang mengajarkan kepada manusia agar berbuat sopan
santun terhadap orang lain.
Itu juga kita terima.
Namun yang kita harapkan adalah Adat yang bersendi kepada Syara’. Syara’
bersendi kepada Kitabullah. Kitabullah yang bermuara kepada Allah SWT.
Karena zaman
sekarang, banyak Kitab yang dikatakan orang bahwa itu adalah Kitab Allah. Tetapi
ajarannya menyimpang dari tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Konon pula Adat yang
tidak bersendikan Kitabullah yang asli. Maka mudah saja di goyang oleh zaman
dan cenderung kepada keadaan masa.
إِذَاظَــهَــرَتِ الْـبِدَ عُ فِيْ أُ مَّــتِى
فَـعَـلَ الْــعَالَمِ أَنْ يــُظْـهِـرُعِـلْمـُـهُ فَـإِنْ لَمْ يَــفْـعَــلْ
فَـعَــلَــيْـهِ لَــعَــنَـةُ الـلّـــــهِ وَ الْـمَـلاَ ئِـكَـةِ وَ
الــنَّاسِ أَجْـمَـعِـيْـنَ , لاَ يــُـقْــبَــلُ مِـنْــهُ صَـرْ فٌ وَ لاَ
عَدْ لٌ
“Apabila
muncul bid’ah-bid’ah ditengah-tengah umatku. Maka wajib bagi orang ber-’Ilmu
menyebarkan ‘Ilmunya (yang benar). Kalau ia tidak melakukannya, maka bagi nya
la’nat Allah. para Malaikat. Dan la’nat seluruh Manu sia. Tidak akan di terima
sedekahnya dan seluruh kebai kan ‘amalnya”. (H.R. Ar-Robii’)
Memang orang ber’ilmu
sangat disanjung dan dipuja oleh siapapun. Namun tidak tertutup kemungkinan.
Bahwa orang ber’ilmu bisa saja langsung masuk ke dalam Neraka jahannam. Jika ia
salah kaprah dalam penyampaian maupun dalam meng’amalkannya. Karena Hadits
diatas telah menerangkan kepada kita, bahwa La’nat Allah dan Malaikat serta
La’nat seluruh Ruh Manusia sangat dekat kepadanya. Jadi belum tentu yang kita
pandang manis itu tidak akan menjadi Pil pahit di belakang hari. Untuk itu.. Berhati-hatilah
wahai orang yang ber’ilmu !!!
مَنْ سُـئِـلَ عَنْ عِـلْمٍ فَـكَــتَـمَـهُ جَاءَ يَـوْ
مَ الْـقِـيَامَةِ مُـلْـجَــمًابِـلِـجَامٍ مِنْ نَّـارِ
“Barangsiapa
ditanya tentang suatu ‘Ilmu lalu dirahasia kannya, maka ia akan hadir pada hari
Qiyamat dengan kendali (di mulutnya) dari api Neraka !!!”.
(H.R. Abu Daud)
Merahasiakan suatu
‘Ilmu itu, sangat dimurkai Allah. Lalu bagaimana jika menyempitkan lahirnya
‘Ilmu untuk umat Manusia, hanya di karenakan isi Amplopnya sedikit ? Wallahu
a’lam bish-showaab-Wal-maa’ap. Kita kembalikan semua keadaan kepada Allah ‘Azza
Wajalla.
DERAJAT ORANG BERILMU
MENURUT ISLAM
Banyak ayat-ayat
al-Quran yang membahas dan menjelaskan tentang kedudukan orang yang beriman dan
kedudukan orang yang berilmu di dalam Islam. Peranan ilmu dalam Islam sangat
penting sekali. Karena tanpa ilmu, maka seorang yang mengaku mukmin, tidak akan
sempurna bahkan tidak benar dalam keimanannnya. Seorang muslim wajib mempunyai
ilmu untuk mengenal berbagai pengetahuan tentang Islam baik itu menyangkut
aqidah, adab, ibadah, akhlak, muamalah, dan sebagainya. Dengan memiliki
pengetahuan dan pemahaman ilmu yang benar, maka diharapkan pengamalannya akan
sesuai dengan tuntunan Rasulullah Saw.
Allah Ta’ala
berfirman dalam surah Al-Mujadalah [58] ayat 11:
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا۟ فِى ٱلْمَجَٰلِسِ
فَٱفْسَحُوا۟ يَفْسَحِ ٱللَّهُ لَكُمْ ۖ وَإِذَا قِيلَ ٱنشُزُوا۟ فَٱنشُزُوا۟
يَرْفَعِ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مِنكُمْ وَٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْعِلْمَ
دَرَجَٰتٍ ۚ وَٱللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
Hai orang-orang
beriman apabila dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majlis”, maka
lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila
dikatakan: “Berdirilah kamu”, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan
orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu
pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Tafsir
Singkat (al-Jalalain):
(Hai orang-orang yang
beriman, apabila dikatakan kepada kalian, “Berlapang-lapanglah) berluas-luaslah
(dalam majelis”) yaitu majelis tempat Nabi saw. berada, dan majelis zikir
sehingga orang-orang yang datang kepada kalian dapat tempat duduk. Menurut
suatu qiraat lafal al-majaalis dibaca al-majlis dalam bentuk mufrad (maka
lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untuk kalian) di surga
nanti. (Dan apabila dikatakan, “Berdirilah kalian”) untuk melakukan shalat dan
hal-hal lainnya yang termasuk amal-amal kebaikan (maka berdirilah) menurut
qiraat lainnya kedua-duanya dibaca fansyuzuu dengan memakai harakat damah pada
huruf Syinnya (niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di
antara kalian) karena ketaatannya dalam hal tersebut (dan) Dia meninggikan pula
(orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat) di surga nanti.
(Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan).
Penjelasan
Global
Sebab turunnya ayat
ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dari Muqatil bin Hibban, ia berkata, “Pada
suatu hari, yaitu hari jumat, Rasulullah SAW. berada di Suffah mengadakan
pertemuan di suatu tempat yang sempit, dengan maksud menghormati
pahlawan-pahlawan perang Badar yang terdiri dari orang-orang Muhajirin dan
Anshar. Beberapa orang pahlawan perang Badar itu terlambat datang di antaranya
Sabit bin Qais. Para pahlawan Badar itu berdiri di luar yang kelihatan oleh
Rasulullah mereka mengucapkan salam, “Assalamu’ alaikum Ayyuhan Nabiyyu
warahatullahi wabarakatuh”, Nabi SAW. menjawab salam, kemudian mereka
mengucapkan salam pula kepada orang-orang yang hadir lebih dahulu dan dijawab
pula oleh mereka.
Para pahlawan Badar
itu tetap berdiri, menunggu tempat yang disediakan bagi mereka, tetapi tidak
ada yang menyediakannya. Melihat itu Rasulullah SAW. merasa kecewa, lalu
mengatakan, “berdirilah, berdirilah”. Berapa orang yang ada di sekitar itu
berdiri, tetapi dengan rasa enggan yang terlihat di wajah mereka. Maka
orang-orang munafik memberikan reaksi dengan maksud mencela Nabi SAW. mereka
berkata, “Demi Allah, Muhammad tidak adil, ada orang yang dahulu datang dengan
maksud memperoleh tempat duduk di dekatnya, tetapi di suruh berdiri agar tempat
itu diberikan kepada orang yang terlambat datang.” Maka turunlah ayat ini.
Dari ayat ini dapat
dipahami:
- Para sahabat berlomba-lomba mencari tempat dekat
Rasulullah agar mudah mendengar perkataan beliau yang beliau sampaikan
kepada mereka.
- Perintah memberikan tempat kepada orang yang baru
datang, adalah merupakan anjuran, sekiranya hal ini mungkin dilakukan,
untuk menimbulkan rasa persahabatan antara sesama yang hadir.
- Sesungguhnya tiap-tiap orang yang memberikan kelapangan
kepada hamba Allah dalam melakukan perbuatan-perbuatan baik, maka Allah
akan memberi kelapangan pula kepadanya di dunia dan di akhirat nanti.
Memberi kelapangan
kepada sesama muslim dalam pergaulan dan usaha mencari kebaikan, berusaha
menyenangkan hati saudara-saudaranya, memberi pertolongan dan sebagainya
termasuk yang dianjurkan Rasulullah SAW. Beliau bersabda:
“Allah selalu
menolong hamba selama hamba itu menolong saudaranya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Ayat ini menerangkan
bahwa jika kamu disuruh Rasulullah SAW. berdiri untuk memberikan kesempatan
kepada orang tertentu agar ia dapat duduk atau kamu disuruh pergi dahulu
hendaknya kamu berdiri atau pergi, karena ia ingin memberikan penghormatan
kepada orang-orang itu atau karena ia ingin menyendiri untuk memikirkan
urusan-urusan agama, atau melaksanakan tugas-tugas yang perlu diselesaikan
dengan segera.
Berdasarkan ayat ini
para ulama berpendapat bahwa orang-orang yang hadir dalam suatu majelis
hendaklah mematuhi ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam majelis itu atau
mematuhi perintah orang-orang yang mengatur majelis itu.
Jika dipelajari
maksud ayat di atas ada suatu ketetapan yang ditentukan ayat ini, yaitu agar
orang-orang menghadiri suatu majelis baik yang datang pada waktunya atau yang terlambat
itu, selalu menjaga suasana yang baik, penuh persaudaraan dan saling
bertenggang rasa dalam majelis itu. Bagi yang terdahulu datang hendaklah
memenuhi tempat yang agak di muka, sehingga orang yang datang kemudian tidak
perlu melangkahi atau mengganggu orang yang telah terdahulu hadir dan bagi
orang yang terlambat datang hendaklah merasa rela dengan keadaan yang
ditemuinya, seperti tidak dapat tempat duduk. Inilah yang dimaksud dengan sabda
Nabi SAW.:
لا يقم الرجل من مجلسه
ولكن تفسحوا وتوسعوا
Janganlah seseorang
menyuruh berdiri, dari tempat-tempat duduk temannya yang lain, tetapi hendaklah
ia mengatakan: lapangkanlah atau geserlah sedikit.
(HR. Bukhari Muslim dll).
Akhir ayat ini
menerangkan bahwa Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman, yang
taat dan patuh kepada-Nya, melaksanakan perintah-perintah-Nya, menjauhi
larangan-larangan-Nya, berusaha menciptakan suasana damai, aman dan tenteram
dalam masyarakat, demikian pula orang-orang yang berilmu yang menggunakan
ilmunya untuk menegakkan kalimat Allah.
Dari ayat ini
dipahami bahwa orang-orang yang mempunyai derajat yang paling tinggi di sisi
Allah ialah orang yang beriman, berilmu dan ilmunya itu diamalkan sesuai dengan
yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya. Kemudian Allah SWT menegaskan bahwa Dia
Maha Mengetahui semua yang dilakukan manusia, tidak ada yang tersembunyi
bagi-Nya, siapa yang durhaka kepada-Nya. Dia akan memberi balasan yang adil,
sesuai dengan perbuatan yang telah dilakukannya. Perbuatan baik akan dibalas
dengan surga dan perbuatan jahat dan terlarang akan dibalas dengan azab neraka.
Sedangkan Ibnu
Katsir dalam tafsirnya menjelaskan sebagai berikut:
- Allah Ta’ala akan meninggikan orang-orang yang
beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa
derajat. Maksudnya, janganlah kalian berkeyakinan bahwa jika salah seorang
di antara kalian memberi kelapangan kepada saudaranya, baik yang datang
maupun yang akan pergi lalu dia keluar, maka akan mengurangi hak-nya.
Bahkan hal itu merupakan ketinggian dan perolehan martabat di sisi Allah.
Dan Allah Ta’ala tidak menyia-nyiakan hal tersebut, bahkan Dia akan
memberikan balasan kepadanya di dunia dan di akhirat. Sesungguhnya orang
yang merendahkan diri karena Allah, maka Allah akan mengangkat derajatnya dan
akan memasyhurkan namanya.
- Imam Ahmad meriwayatkan dari Abuth Thufail ‘Amir
bin Watsilah, bahwa Nafi’ bin ‘Abdil Harits pernah bertemu dengan ‘Umar
bin al-Khaththab di Asafan. ‘Umar mengangkatnya menjadi pemimpin Makkah
lalu ‘Umar berkata kepadanya: “Siapakah yang engkau angkat sebagai
khalifah atas penduduk lembah?” la menjawab: “Yang aku angkat sebagai
khalifah atas mereka adalah Ibnu Abzi, salah seorang budak kami yang telah
merdeka.” Maka ‘Umar bertanya: “Benar engkau telah mengangkat seorang
mantan budak sebagai pemimpin mereka?” Dia pun berkata: “Wahai Amirul
Mukminin, sesungguhnya dia adalah seorang yang ahli membaca Kitabullah
(al-Qur-an), memahami ilmu fara-idh dan pandai berkisah.” Lalu
‘Umar berkata: “Sesungguhnya Nabi kalian telah bersabda:
“Sesungguhnya Allah
mengangkat suatu kaum karena Kitab ini (al-Qur-an) dan merendahkan dengannya
sebagian lainnya.”
Kasifikasi ilmu menurut islam
Klasifikasi ilmu
dalam islam
I. Sumber dan Metode Ilmu
Kehidupan agama Islam di panggung sejarah peradaban manusia memiliki
arti tersendiri, termasuk dalam bidang ilmu pengetahuan. Ilmu dalam Islam
berdasarkan paham kesatupaduan yang merupakan inti wahyu Allah Swt. Tujuan dari
semua ilmu dikembangkan berdasarkan Islam ialah untuk menunjukkan kesatupaduan
dan saling berhubungan dari segala yang ada. Turunnya wahyu Allah SWT kepada
Nabi Muhammad saw, membawa semangat baru bagi dunia ilmu pengetahuan,
memecahkan kebekuan zaman. Lahirnya Islam membawa manusia kepada sumber-sumber
pengetahuan lain dengan tujuan baru, yakni lahirnya tradisi intel-induktif.
Al-Qur’an menganggap ”anfas” (ego) dan ”afak” (dunia) sebagai sumber
pengetahuan. Allah menumpahkan tanda-tanda-Nya dalam pengalaman batin dan juga
pengalaman lahir. Ilmu dalam Islam memiliki kapasitas yang sangat luas,
pengalaman batin merupakan pengembangan manusia terhadap seluruh potensi jiwa
dan inteleknya. Jiwa kebudayaan Islam yang diarahkan kepada yang konkrit dan
terbatas serta yang telah melahirkan metode observasi dan eksperimen bukanlah
sebuah hasil kompromi dengan pikiran Yunani.
II. Keterbatasan Ilmu
Manusia diberi anugerah oleh Allah dengan alat-alat kognitif yang alami
terpasang pada dirinya. Dengan alat ini manusia mengadakan observasi, eksperimentasi,
dan rasionalisasi. Keterbatasan ilmu manusia tidak menghilangkan makna
ayat-ayat Allah di alam semesta yang diciptakan agar manusia dapat mengenal
eksistensinya. Makna ayat-ayat Allah tetap relevan mengantarkan manusia kepada
Tauhid dari dahulu hingga sekarang, dari zaman batu hingga zaman komputer.
III. Ilmu-Ilmu Semu
Banyak orang yang mempelajari ilmu pengetahuan tetapi dirinya bersikap
sekuler. Tak terkesan sedikitpun kecenderungan kepada Islam. Ilmu-ilmu seperti
inilah yang disebut sebagai ilmu yang semu karena tidak membawa manusia kepada
tujuan hakiki.
1. Sikap apriori dari para pencari ilmu dengan tidak meyakini bahwa
ajaran Islam benar- benar dari Allah SWT, dan berguna bagi kehidupan manusia di
dunia ini.
2. Terbelenggunya akal pikiran karena peniruan yang membabi buta
terhadap karya-karya pendahulu (nenek moyang) mereka.
3. Mengikuti persangkaan yang tidak memiliki landasan ilmiah yang kokoh,
hanya bersifat spekulatif belaka.
IV. Klasifikasi Ilmu
Beberapa tipe klasifikasi telah dihasilkan dengan berbagai aspek
peninjauan dan penghayatan terhadap ilmu-ilmu yang berkemban, diantaranya
klasifikasi oleh Al- Kindi (801 – 873 M), Al-Farabi (870 – 950 M), Al- Ghazali
(1058 – 1111 M), dan Ibn Khaldun (wafat 1406 M). Pada dasarnya ilmu itu dibagi
atas dua bagian besar, yakni ilmu-ilmu
Tanziliyah yaitu ilmu-ilmu yang dikembangkan akal manusia terkait dengan
nilai-nilai yang diturunkan Allah Swt baik dalam kitab-Nya maupun
Hadits-haditsRasulullah Saw, dan ilmu-ilmu
Kauniyah yaitu ilmu-ilmu yang dikembangkan
akal manusia karena interaksinya dengan alam. Bersumber pada Al-Qur’an dan
Hadits, ilmu-ilmu Tanziliyah telah berkembang sedemikian rupa ke dalam
cabang-cabang yang sangat banyak, diantaranya Ulumul Qur’an, Ulumul Hadits,
Ushul Fiqh, Tarikhulanbiya, Sirah Nabawiyah, dan lain-lain. Masing-masing ilmu
tersebut melahirkan ilmu-ilmu, seperti dalam Ulumul Qur’an ada ilmu Qiroat,
ilmu Asbabun Nuzul, ilmu Tajwid, dan lain-lainnya. Bersumber pada ayat-ayat
Allah Swt, di alam raya ini akal manusia melahirkan banyak sekali cabang-cabang
ilmu. Ilmu-ilmu yang terkait dengan benda-benda mati melahirkan ilmu kealaman,
terkait dengan pribadi manusia melahirkan ilmu-ilmu kemanusiaan (humaniora),
dan terkait dengan interaksi antar manusia lahir ilmu-ilmu sosial. Ilmu-ilmu
kealaman melahirkan ilmu astronomi, fisika, kimia, biologi, dan lainnya.
Ilmu-ilmu humaniora melahirkan psikologi, bahasa, dan lainnya.
kasifikasi Ilmu menurut ulama islam.
Ulumudin
mengklasifikasikan Ilmu dalam dua kelompok yaitu 1). Ilmu Fardu a’in,
dan 2). Ilmu Fardu Kifayah, kemudian beliau menyatakan pengertian Ilmu- ilmu
tersebut sebagai berikut : “Ilmu fardu a’in . Ilmu tentang cara amal perbuatan
yang wajib, Maka orang yang mengetahui ilmu yang wajib dan waktu wajibnya,
berartilah dia sudahmengetahui ilmu fardu a’in “ (1979 : 82) “Ilmu fardu
kifayah. Ialah tiap-tiap ilmu yang tidak dapat dikesampingkan dalam menegakan
urusan duniawi “ (1979 : 84)
Al Ghazali
menjelaskan bahwa yang termasuk ilmu fardu a’in ialah ilmu agama dengan
segala cabangnya, seperti yang tercakup dalam rukun Islam, sementara itu yang
termasuk dalam ilmu (yang menuntutnya) fardhu kifayah antara lain ilmu
kedokteran, ilmu berhitung untuk jual beli, ilmu pertanian, ilmu politik,
bahkan ilmu menjahit, yang pada dasarnya ilmu-ilmu yang dapat membantu dan
penting bagi usaha untuk menegakan urusan dunia.
Ibnu Khaldun
yang membagi kelompok ilmu ke dalam dua kelompok yaitu :
1. Ilmu yang merupakan suatu yang alami pada manusia, yang ia bisa
menemukannya karena kegiatan berpikir.
2. Ilmu yang bersifat tradisional (naqli).
bila kita lihat pengelompokan di atas , barangkali bias disederhanakan
menjadi 1). Ilmu aqliyah , dan 2). Ilmu naqliyah.
Dalam penjelasan selanjutnya Ibnu
Khaldun menyatakan :
“Kelompok pertama itu adalah ilmu-ilmu hikmmah dan falsafah. Yaitu ilmu
pengetahuan yang bisa diperdapat manusia karena alam berpikirnya, yang dengan
indra— indra kemanusiaannya ia dapat sampai kepada objek- objeknya,
persoalannya, segi-segi demonstrasinya dan aspek-aspek pengajarannya, sehingga
penelitian dan penyelidikannya itu menyampaikan kepada mana yang benar dan yang
salah, sesuai dengan kedudukannya sebagai manusia berpikir. Kedua, ilmu-ilmu
tradisional (naqli dan wadl’i. Ilmu itu secara keseluruhannya disandarkan
kepada berita dari pembuat konvensi syara “ (Nurcholis Madjid, 1984 : 310)
dengan demikian bila melihat pengertian ilmu untuk kelompok pertama nampaknya
mencakup ilmu-ilmu dalam spektrum luas sepanjang hal itu diperoleh melalui
kegiatan berpikir. Adapun untuk kelompok ilmu yang kedua Ibnu Khaldun merujuk
pada ilmu yang sumber keseluruhannya ialah ajaran-ajaran syariat dari al qur’an
dan sunnah Rasul. Ulama lain yang membuat klasifikasi Ilmu adalah Syah
Waliyullah, beliau adalah ulama kelahiran India tahun1703 M. Menurut
pendapatnya ilmu dapat dibagi kedalam tiga kelompok menurut pendapatnya ilmu
dapat dibagi kedalam tiga kelompok yaitu : 1). Al manqulat, 2). Al ma’qulat,
dan 3). Al maksyufat. Adapun pengertiannya sebagaimana dikutif oleh A Ghafar
Khan dalam tulisannya yang berjudul “Sifat, Sumber, Definisi dan Klasifikasi
Ilmu Pengetahuan menurut Syah Waliyullah” (Al Hikmah, No. 11, 1993), adalah
sebagai berikut :
1). Al manqulat adalah semua Ilmu-ilmu Agama yang disimpulkan dari atau
mengacu kepada tafsir, ushul al tafsir, hadis dan al hadis.
2). Al ma’qulat adalah semua ilmu dimana akal pikiran memegang peranan
penting.
3). Al maksyufat adalah ilmu yang diterima langsung dari sumber Ilahi
tanpa keterlibatan indra, maupun pikiran spekulatif Selain itu, Syah Waliyullah
juga membagi ilmu pengetahuan ke dalam dua kelompok yaitu : 1). Ilmu al husuli,
yaitu ilmu pengetahuan yang bersifat indrawi, empiris, konseptual, formatif
aposteriori dan 2). Ilmu al huduri, yaitu ilmu pengetahuan yang suci dan
abstrak yang muncul dari esensi jiwa yang rasional akibat adanya kontak
langsung dengan realitas ilahi . Meskipun demikian dua macam pembagian tersebut
tidak bersifat kontradiktif melainkan lebih bersifat melingkupi, sebagaimana
dikemukakan A.Ghafar Khan bahwa al manqulat dan al ma’qulat dapat tercakup ke
dalam ilmu al husuli